Dari Pematangsiantar Menjadi Pahlawan Nasional: Kisah Adam Malik

Adam Malik (kiri) dan Soeharto, 1966.
Lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1917, Adam Malik adalah seorang tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden dari 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983, mendampingi Presiden Soeharto. Sebelum mencapai puncak karier politiknya, ia telah berkiprah sebagai anggota kabinet di era Presiden Soekarno dan Soeharto.

Adam Malik mengawali kariernya sebagai wartawan dan aktif dalam berbagai organisasi sejak muda. Pada 1934–1935, ia memimpin Partai Indonesia (Partindo) di Pematangsiantar dan Medan, kemudian menjadi anggota Dewan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta pada 1940–1941. Saat Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, ia turut berperan sebagai anggota Pimpinan Gerakan Pemuda di Jakarta pada 1945.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Adam Malik dipercaya menjadi Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 1946, ia mendirikan Partai Rakyat dan kemudian menjadi anggota Dewan Pimpinan Partai Murba dari 1948 hingga 1956. Pada pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota DPR RI melalui Partai Murba.

Dalam masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Adam Malik menjabat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Uni Soviet dan Polandia. Pada 1962, ia memimpin Delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Belanda mengenai wilayah Irian Barat di Washington DC, Amerika Serikat. Setahun kemudian, Adam Malik diangkat menjadi Menteri Perdagangan, dan pada 1966 ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri hingga 1978, melintasi era Soekarno dan Soeharto.

Adam Malik terlihat (kanan) bersama Menteri Luar Negeri Portugal Ernesto Melo Antunes, pada 5 November 1975 di depan Kedutaan Portugal di Roma, Italia
Pada 1977, Adam Malik menjabat sebagai Ketua DPR RI selama satu tahun sebelum diangkat sebagai Wakil Presiden ke-3 RI pada 23 Maret 1978, menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Adam Malik lahir dari pasangan Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis. Ayahnya berasal dari Tapanuli Selatan, Mandailing, dan bekerja sebagai pedagang dan penjahit di Pematangsiantar. Ibunya, yang juga berdarah Mandailing, berasal dari Tapanuli Selatan, namun merantau ke Malaysia sebelum akhirnya menetap di Pematangsiantar.

Sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara, masa kecil Adam Malik dihabiskan dengan membantu orang tuanya berdagang. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas, hingga dijuluki "kancil" oleh Perdana Menteri Mr. Amir Syarifudin. Pendidikan dasarnya ditempuh di Holandsch Inlandsche School (HIS) Pematangsiantar, lalu ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Sumatera Thawalib di Parabek, Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun, ia hanya bertahan di sana selama setahun sebelum kembali ke Pematangsiantar untuk membantu orang tuanya.

Di Pematangsiantar, Adam Malik aktif dalam organisasi kepanduan Muhammadiyah Hisbul Wathan dan mendirikan cabang Indonesia Muda, yang berpusat di Batavia. Ia dikenal sebagai pemuda yang gemar membaca dan fasih berbahasa Belanda, serta sering berkumpul bersama teman-temannya untuk berdiskusi. Adam Malik pernah ditahan dan dipenjara selama dua bulan karena aktivitas politiknya. Setelah dibebaskan, ia menjadi Ketua Partindo di Pematangsiantar dan Medan pada 1934–1935.

Kecintaannya pada politik membawa Adam Malik ke dunia jurnalistik. Ia aktif menulis di Surat Kabar Pelita Andalas dan Majalah Partindo, dengan tulisan-tulisannya yang semakin dikenal oleh masyarakat. Kegemarannya dalam fotografi juga mendukung kiprahnya di dunia jurnalistik. Setelah Partindo dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, Adam Malik hijrah ke Batavia untuk mengembangkan karier politiknya lebih lanjut.

Pada usia 25 tahun, Adam Malik menikah dengan Nelly Ilyas pada 20 Desember 1942, dan mereka dikaruniai lima anak: Otto Malik, Antarini Malik, Ilham Malik, Budisita Malik, dan Imron Malik.

Di Jakarta, Adam Malik memulai kariernya sebagai wartawan, dan menjadi salah satu pendiri Kantor Berita Antara pada 13 Desember 1937. Ia juga aktif sebagai redaktur di kantor berita tersebut dan menjadi wartawan di harian Jepang Domei pada 1944.

Pada masa penjajahan Jepang, Adam Malik aktif dalam gerakan pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi Ketua III KNIP pada 1945–1947, mempersiapkan susunan pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. Karier politiknya terus menanjak, hingga ia menjadi Ketua II KNIP sekaligus anggota Badan Pekerja KNIP.

Pada 7 November 1948, Adam Malik bersama Tan Malaka, Chairul Saleh, dan Sukarni mendirikan Partai Murba. Selain menjadi anggota, ia juga menjadi Dewan Pimpinan Partai tersebut hingga 1956. Pada Pemilu 1955, Adam Malik terpilih sebagai anggota DPR RI melalui Partai Murba.

Pada 1966, Adam Malik secara terbuka menyatakan keluar dari Partai Murba karena tidak sejalan dengan kebijakan politik yang diambil. Ia kemudian bergabung dengan Golkar, yang pada 17 Juli 1971 menyatakan diri sebagai organisasi yang bukan partai politik.

Karier politik Adam Malik semakin cemerlang ketika Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Duta Besar untuk Uni Soviet dan Polandia pada 1959–1961. Pada 1962, ia memimpin perundingan Indonesia-Belanda mengenai Irian Barat.

Adam Malik juga berperan penting dalam kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB pada 1966. Pada 1971, ia menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26, satu-satunya orang Indonesia yang pernah menduduki jabatan tersebut.

Kariernya di kabinet dimulai sebagai Menteri Perdagangan dalam Kabinet Kerja IV, kemudian diangkat sebagai Menteri Luar Negeri pada 1966, jabatan yang dipegangnya hingga 1978. Adam Malik juga berperan dalam berbagai perundingan internasional, termasuk normalisasi hubungan Malaysia-Indonesia dan pembentukan ASEAN pada 1967. Jabatan tertingginya adalah sebagai Wakil Presiden RI, di mana ia menjabat dari 1978 hingga 1983.

Adam Malik meninggal dunia di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

Belum ada Komentar untuk "Dari Pematangsiantar Menjadi Pahlawan Nasional: Kisah Adam Malik"

Posting Komentar